Ngecoba buat jadi teman yang lebih baik bagi diri Lo sendiri kedengeran kayak ide yang aneh, pada awalnya. Karena kita umumnya ngebayangin seorang teman sebagai orang lain bukan sebagai bagian dari pikiran kita sendiri. Tapi terdapat nilai di dalam konsep tersebut karena sejauh apa yang kita tahu tentang gimana cara buat nraktir teman kita sendiri, dengan simpati dan imajinasi yang kita jarang gunain ke diri kita sendiri. 

Kalo seorang teman lagi dalem masalah insting pertama kita jarang ngasih tahu mereka bahwa mereka pada dasarnya itu orang yang brengsek dan gagal. Kalo seorang teman ngeluh bahwa pasangan mereka nggak terlalu hangat terhadap mereka, kita nggak ngasih tahu mereka bahwa mereka ndapetin apa yang pantas mereka dapetin. Kita nyoba buat yakinin nyenengin dan bahwa penting buat nginvestigasi apa yang kudu dilakuin.

Di dalam persahabatan kita tahu secara instingtif cara buat ngelancarin strategi kebijaksanaan dan penghiburan yang kita *dengan keras kepala* tolak untuk digunain pada diri kita sendiri.

Terdapat beberapa langkah kunci yang biasanya seorang teman baik akan lakuin yang bisa nyediain sebuah model untuk apa yang seharusnya kita *idealnya lakukan pada diri kita sendiri* di dalam kepala kita sendiri;

Pertama-tama, seorang teman baik menyukai Lo apa adanya. Saran apapun yang mereka buat atau ambisi yang mereka punya tentang gimana Lo bisa berubah terbangun pada sebuah latar belakang penerimaan. Ketika mereka ngusulin bahwa Lo mungkin mencoba arah yang berbeda, hal tersebut bukanlah sebuah ultimatum atau ancaman. Mereka nggak ngatain kalo Lo harus berubah atau Lo bakal ditinggalin. Seorang teman bersikeras bahwa kita udah cukup baik. Tapi mereka mau bergabung dengan kita buat mecahin sebuah tantangan yang mereka rasain yang akan ngasih manfaat bagi kita, dari pemecahan masalahnya.

Tanpa menyanjung-nyanjung, seorang teman yang baik juga dengan terus-menerus ngingetin dalam pikiran kita hal-hal tertentu yang kita lakuin dengan benar. Mereka nggak berpikir apapun yang salah dengan pujian yang aneh dan penegasan pada kekuatan kita.

Hal tersebut diam-diam menyakitkan, betapa mudahnya kita dapat kehilangan pandangan akan semua nilai-nilai baik kita, ketika masalah menghantam. Seorang teman nggak jatuh pada jebakan ini. Mereka bisa ngasih tahu kesulitan-kesulitan sambil masih berpegang pada ingatan akan kebaikan-kebaikan kita.

Seorang teman yang baik itu merasa iba ketika kita gagal, seperti yang seharusnya. Mereka mengerti dan baik hati terhadap kesalahan kita. Kebodohan kita tidak dikecualikan dari lingkaran cinta mereka.

Teman yang baik tentunya menyampaikan bahwa kekeliruan, kegagalan dan kesalahan hanyalah apa yang kita, manusia, lakukan.

Kita bangkit dari masa kanak-kanak dengan berbagai bias pada karakter kita yang berevolusi untuk ngebantu kita berlindung dari orang tua yang nggak sempurna pada semestinya dan hal ini memperoleh kebiasaan pemikiran yang akan tentunya ngecewain kita di kehidupan orang dewasa.

Namun, kita bukan untuk disalahkan karena kita nggak dengan sukarela meminta untuk dijadiin kayak gini. Kita nggak *dengan realistis* punya banyak opsi yang lebih baik. Kita diharuskan untuk ngebuat keputusan-keputusan besar sebelum kita akan pernah bener-bener ngerti apa yang jadi taruhannya atau gimana pilihan-pilihan kita akan terlaksana.

Kita menyetir dengan buta di dalam semua langkah-langkah besar di sekitar cinta dan pekerjaan. Kita memilih untuk sebuah pindahan ke kota lainnya namun kita nggak mungkin tahu apakah kita akan berhasil di sana.

Kita harus memilih sebuah jalur karir ketika kita masih muda dan kita nggak tahu apa sajakah kebutuhan terpendam kita di dalam hubungan jangka panjang tersebut. Kita harus membuat sebuah komitmen ke orang lain sebelum kita ngerti akan seperti apakah rasanya untuk mengikat hidup kita, dengan sangat dalamnya kepada kehidupan mereka.

Teman yang baik tahu bahwa kegagalan itu *pada kenyataannya* nggak jarang bahkan sering terjadi. Mereka membawa diri mereka sendiri dan pengalaman mengacau yang jelas dari kemanusiaan ke dalam kehidupan sebagai titik kunci referensi. Mereka terus menerus ngasih tahu kita bahwa kasus spesifik kita, mungkin unik namun pada struktur umumnya, sangatlah biasa.

Orang-orang nggak hanya kadang-kadang gagal. Semua orang gagal. Hanya saja, kita nggak tahu tentangnya. Hal itu ironis, namun pada dasarnya penuh pengharapan bahwa kita biasanya tahu dengan sangat baik cara untuk menjadi teman yang baik untuk orang asing di sekitar kita daripada kita tahu cara menjadi teman baik bagi diri kita sendiri.

Pengharapan tersebut berada pada kenyataan bahwa kita benar-benar memiliki kemampuan-kemampuan berteman yang relevan. Hanya saja, kita belum mengarahkan kemampuan-kemampuan tersebut pada seseorang, yang mungkin sangat membutuhkannya, seperti misalnya, tentunya, untuk diri kita sendiri.